LAPORAN PRAKTIKUM GEOMORFOLOGI DAN KLASIFIKASI TANAH


LAPORAN PRAKTIKUM
GEOMORFOLOGI DAN KLASIFIKASI TANAH


IRAWAN DWIYANTO
NPM : 1625010110

SEMESTER V
GOLONGAN A1










LABORATORIUM SUMBER DAYA LAHAN
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
2018


I.                   PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Geomorfologi ( geomorphology ) adalah ilmu tentang roman muka bumi beserta aspek-aspek yang mempengaruhinya. Di mana geomorfologi yang merupakan cabang dari ilmu geografi, mempelajari tentang bentuk muka bumi, yang meliputi pandangan luas sebagai cakupan satu kenampakan sebagai bentang alam (landscape) sampai pada satuan terkecil sebagai bentuk lahan (landform).
Obyek utama geomorfologi ialah bentuklahan, proses geomorfologi, genesa dan evolusi pertumbuhan bentuk lahan, beserta hubungannya dengan aspek lingkungan. Dalam hal ini utamanya mengupas tentang berbagai bentuk lahan dari bentukan berbagai asal proses yang berbeda. Bentanglahan atau landscape merupakan kombinasi atau gabungan dari bentuklahan. Mengacu pada definisi bentanglahan tersebut, maka dapat dimengerti bahwa unit analisis yang yang sesuai adalah unit bentuklahan. Oleh karena itu, untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bentanglahan selalu mendasarkan pada kerangka kerja bentuklahan (landform).
Bentuklahan adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki bentuk topografis khas, akibat pengaruh kuat dari proses alam dan struktur geologis pada material batuan, dalam skala ruang dan waktu kronologis tertentu. Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan dan proses-proses yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangan.
Kajian utama geomorfoloogi untuk analisis lansekap dan morfologi (bentuk-bentuk lahan) yang terdiri dari morfografi (uraian dari bentuk lahan) dan morfometri (ukuran bentuk lahan) dan morfogenesis (proses pembentukan bentuk lahan), Morfoarangemen (tata ruang alamiah bentuk lahan).Aspek tersebut juga digunakan dalam mengkaji ilmu-ilmu tanah, khususnya pada kajian Pedologi, Klasifikasi Tanah, Survey dan Penilaian Lahan. Perlu diketahui bahwa analisis lansekap sering digunakan untuk manganalisis bentang lahan baik dianalisis dari sebuah peta maupun citra ataupun secara lapang.
Kita ketahui bentang lahan dan bentuk lahan sebagai suatu permukann bumi yang didalamnya terkandung berbagai aspek yang dimaksudkan diatas, maka jelaslah bentang lahan dan bentuk lahan dapat dikatagorikan  sebagai sumber daya landscape yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia dengan menganalisis bentang lahan tersebut berdasarkan geomorfiknya.


1.2 Tujuan
1.      Mengenal Peta topografi, garis kontur, sifat garis kontur, pola kontur, kemiringan lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng.
2.      Mampu membuat peta topografi berdasarkan data titik-titik ketinggian
3.      Mampu membuat peta kontur dengan menggunakan software komputer secara mandiri.
4.      Mampu membuat interpretasi bentuk bentang alam berdasarkan peta topografi
5.      Mampu membuat deskripsi satuan geomorfologi kualitatif dan kuantitatif berdasarkan analisis peta topografi.
6.      Mampu mengaplikasikan pemanfataan analisis peta topografi.

1.3    Manfaat
1. Mampu mengoperasikan  dan menggunakan software Surfer v.15 untuk menganalisa bentang lahan (landscape)  berdasarkan ploting ketinggian secara manual mmenggunakan software Surfer v.15.
2. Mampu  mengintepretasikan bentang lahan (landscape)  berdasarkan ploting ketinggian secara manual menggunakan software Surfer v.15 dan menampilkan peta kontur, peta kontur 3D, gambar medan 3D, gambar penampang U-T dan penampang B-T.
3. Mampu klasifikasi hubungan antara hubungan kelas sudut lereng dengan penggunaan lahan sesuai bentuk bentang lahan.


II.                METODE PELAKSANAAN
2.1  Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal  September 2018-22 Oktober 2018 pukul 13.30 - 14.50 WIB di Laboratorium Sumber Daya Lahan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2.2  Alat dan Bahan
1. Personal Computer 
2. Software Surfer v.15
3.  Lembar peta plot titik ketinggian
4.  pensil teknis
5. penggaris
2.3  Metode pelaksanaan
1. Memploting ketinggian secara manual mmenggunakan software Surfer v.15.
2. Menampilkan hasil plot titik ketinggian dan membandingkan dengan lembar deskripsi peta titik ketinggian.
3. Menampilkan peta kontur, peta kontur 3D, gambar medan 3D, gambar penampang U-T dan penampang B-T.
4.    Mengklasifikasi hubungan antara hubungan kelas sudut lereng dengan penggunaan lahan.
5. Membuat narasi tentang pemanfaatan lahan pada satuan geomorfologi tersebut

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. deskripsi peta titik ketinggian.

Gambar 2. hasil plot titik ketinggian pada program sufer

Gambar 3. Peta kontur

Gambar 4. gambar medan 3D


Gambar. 5 Peta Kontur 3D
Gambar 6. Penampang profil U-S

Gambar 7. Penampang Profil B-T

B. Pembahasan
a.              DESKRIPSI : Berdasarkan peta kontur dan peta medan di atas dapat diketahui bahwa area tersebut merupakan kawasan bukit dengan ketinggian maksimum adalah 300 m dpl. Untuk ketinggian rata-rata area tersebut adalah 60-80 mdpl. Bukit adalah suatu bentuk wujud alam wilayah bentang alam yang memiliki permukaan tanah yang lebih tinggi dari permukaan tanah di sekelilingnya namun dengan ketinggian relatif rendah dibandingkan dengan gunung.
Berdasarkan peta kontur di atas dapat diketahui bahwa area tersebut merupakan kawasan perbukitan, terdapat 1 bukit yang menonjuol dengan ketinggian bukit tertinggi adalah 350 m dpl dan bukit yang lain adalah 100-200 m dpl. Dapat diketahui peta kontur tersebut menggambarkan 1 bukit karena terdapat 1 garis kontur yang memutar dimana semakin kecil lingkaran semakin tinggi ketinggiannya atau kawasan tersebut semakin terjal.. Dilihat dari peta medan diketahui kawasan tersebut kawasan perbukitan memiliki medan yang yang naik turun yang berada di dataran rendah (<1000 m dpl).
b.       Keinggian Maksimal : 350

Rata- Rata Ketinggian: 79


c.           Lereng Maksimal U-S     : 167 %           (Data Terlampir) (sangat curam)
Lereng Minimal U-S       : 33%              (Data Terlampir) (terjal)
Rata-rata lereng U-S       : 79,63%          (Data Terlampir) (sangat terjal)

Lereng Maksimal B-S     : 210%             (Data Terlampir) (sangat curam)
Lereng Minimal B-S       : 0 %                (Data Terlampir) (datar)
Rata-rata lereng B-S       : 94,80 %         (Data Terlampir) (sangat terjal)



d.          Pola bentuk dan panjang lereng
Panjang lereng    : 171,7 (sedang)
Bentuk lereng     : Lereng yang mendominasi menurut gambar profil adalah cembung dengan lereng tidak teratur halus berdasarkan gambar profil.
Klasifikasi hubungan antara hubungan kelas sudut lereng dengan penggunaan lahan.
Geomorfologi merupakan studi yang mempelajari bentuklahan dan proses yang mempengaruhinya serta menyelidiki hubungan timbal balik antara bentuklahan dan proses-proses itu dalam susunan keruangan (Verstappen,1983). Proses geomorfologi adalah perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi yang mengakibatkan modifikasi permukaan bumi (Thornbury, 1970). Penyebab proses geomorfologi adalah benda-benda alam yang dikenal dengan benda-benda alam berupa angin dan air. Proses geomorfologi dibedakan menjadi dua yaitu proses eksogen (tenaga asal luar bumi) yang umumnya sebagai perusak dan proses endogen (tenaga yang berasal dari dalam bumi) sebagai pembentuk, keduanya bekerja bersama-sama dalam merubah permukaan bumi.
Bentuklahan merupakan morfologi dan karakteristik permukaan lahan sebagai hasil interaksi antara proses fisik dan gerakan kerak dengan geologi lapisan permukaan bumi. Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa bentuklahan merupakan bentang permukaan lahan yang mempunyai relief khas karena pengaruh kuat dari struktur kulit bumi dan akibat dari proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang dan waktu tertentu. Masing-masing bentuklahan dicirikan oleh adanya perbedaan dalam hal struktur dan proses geomorfologi, relief/topografi dan material penyusun .

Kondisi lahan tidak terlepas dari topografi. Kemiringan lereng dan panjang lereng adalah dua faktor yang menentukan karakteristik topografi suatu daerah (Asdak, 2002). Pengelompokan kerapatan kontur dapat dilakukan secara kualitatif yaitu dengan melihat secara visual terhadap kerapatan yang ada, atau secara kuantitatif dengan menghitung persen lereng dari seluruh peta. Persen lereng adalah persentase perbandingan antara beda tinggi suatu lereng terhadap panjang lerengnya itu sendiri. Banyak pengelompokan kelas lereng yang telah dilakukan, misalnya oleh Mabbery (1972) untuk keperluan lingkungan binaan, Desaunettes (1977) untuk pengembangan pertanian, ITC (1985) yang bersifat lebih kearah umum dan melihat proses-proses yang biasa terjadi pada kelas lereng tertentu .
Tabel 1. Kelas lereng
Kelas Lereng
Sifat-sifat proses dan kondisi alamiah
Warna
0  –  20
(0-2 %)
Datar hingga hampir datar; tidak ada proses denudasi yang berarti
Hijau
2  –  40
(2-7 %)
Agak miring; Gerakan tanah kecepatan rendah, erosi lembar dan erosi alur (sheet and rill erosion). rawan erosi
Hijau Muda
4  –  80
(7 – 15 %)
Miring;sama dengan di atas, tetapi dengan besaran yang lebih tinggi. Sangat rawan erosi tanah.
Kuning
8 – 160
(15 -30 %)
Agak curam; Banyak terjadi gerakan tanah,  dan erosi, terutama longsoran yang bersifat nendatan.
Jingga
16 – 350
(30 – 70 %)
Curam;Proses denudasional intensif, erosi dan gerakan tanah sering terjadi.
Merah Muda
35 – 550
(70 – 140 %)
Sangat curam; Batuan umumnya mulai tersingkap, proses denudasional sangat intensif, sudah mulai menghasilkan endapan rombakan (koluvial)
Merah
>550
(>140 %)
Curam sekali, batuan tersingkap; proses denudasional sangat kuat, rawan jatuhan batu, tanaman jarang tumbuh (terbatas).
Ungu
>550
(>140 %)
Curam sekali Batuan tersingkap; proses denudasional sangat kuat, rawan jatuhan batu, tanaman jarang tumbuh (terbatas).
Ungu

Kelas lereng, dengan sifat-sifat proses dan kondisi alamiah yang kemungkinan terjadi dan usulan warna untuk peta relief secara umum (disadur dan disederhanakan dari Van Zuidam, 1985). Penggunaan suatu lahan harus disesuaikan dengan potensi dari lahan tersebut. Daerah dengan kemiringan lereng merupakan salah satu yang harus diperhatikan. Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa kelas atau tingkat kelerengan menentukan suatu bentang alam kawasan tersebut. kelas lereng yang mempunyai tanda + menunjukan lahan tersebut mampu untuk dijadikan bentang alam tersebut. Apabila suatu lahan yang di alih fungsikan mejadi sesuatu yang tak mampu ditopangnya maka terjadilah suatu degradasi lahan yang dapat mengakibatkan lahan tersubut tidak optimum penggunaannya dan bahwan berdampak ke area lain seperti daerah dibwahnya.
Tabel 2.  Hubungan penggunanaan lahan dengan sudut lereng secara optimum

Penggunaan atau aktifitas

Kelas sudut lereng (%)
0-3
3-5
5-10
10-15
15-30
30-70
> 70
Rekreasi umum
+
+
+
+
+
+
+
Bangunan terhitung
+
+
+
+
+
+
+
Penggunaan kota umum
+
+
+
+



Jalan urban / kota
+
+
+




Pusat perdagangan
+
+





Jalan raya / tol
+
+





Lapangan terbang
+






Jalan kereta api
+






Jalan lain
+
+
+
+
+
< 45

Kawasan pertanian
+
+
+
+
+
+
+
Kawasan industri
+
+





Kawasan pariwisata
+
+
+
+
+
+
+
Kawasan pemukiman
+
+
+







a.                  Pemanfaatan lahan pada satuan geomorfologi
Bentuk lahan (landform) menguraikan tentang jenis-jenis terain khusus dan menempatkan satuan peta inventarisasi ke dalam bentang lahan (landscape). Cara yang mudah untuk identifikasi di foto udara menggunakan bentang lahan dan kelerengan (topografi). Klasifikasi bentuk lahan dapat diperoleh dari Katalog Bentuk Lahan (Desaunettes, 1977) dan Kucera (1988). Disarankan untuk menggunakan klasifikasi Kucera (1988) karena lebih sederhana tetapi lengkap.
Bentuk lahan memberikan gambaran pada kita tentang kondisi lokasi secara umum. Melalui informasi bentuk lahan juga dapat diperoleh gambaran karakteristik lahan yang lain, misalnya bentuk lahan yang bergunung akan mempunyai jenis-jenis tanah tertentu, biasanya kelerengannya curam dan solum tanahnya relatif dangkal. Sebaliknya bentuk lahan aluvium akan memberi gambaran tentang kondisi yang datar dengan drainase yang kurang baik, teksturnya halus dan solum tanahnya dalam.
Pemanfaatan lahan pada satuan geomorfologi ditentukan dari berbagai aspek atau cirri-ciri dari geomorfologi dari wilayah tersebut. cirri-ciri tersebut yaitu keadaan topografi dan morfologinya. Keadaan topografi berupa bagian kelerengan (puncak, lereang bagian atas, lereng bagian tengah, lereng bagian bawah, atau dasar lembah), ketinggian (perbukitan, dataran rendah, perbukitan rendah, perbukitan, perbukitan tinggi, atau pegunungan. Morfologinya berupa kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk lereng. Serta aspek lainnya berupa pola aliran sungai. Informasi kemiringan dan arah lereng sangat diperlukan bagi pengelolaan lahan. Parameter kelerengan juga digunakan untuk klasifikasi beberapa keperluan, misalnya untuk penentuan fungsi lindung dan budidaya. Jadi informasi ini sangat dibutuhkan untuk keperluan pengelolaan termasuk pengelolaan hutan.
Berbagai tipe penggunaan lahan dijumpai di permukaan bumi, masing-masing tipe mempunyai kekhususan tersendiri. Tipe penggunaan lahan secara umum meliputi pemukiman, kawasan budidaya pertanian, padang penggembalaan, kawasan rekreasi dan lainnya. Badan Pertanahan Nasional mengelompokkan jenis penggunaan lahan sebagai berikut : (1) pemukiman, berupa kombinasi antara jalan, bangunan, tegalan/pekarangan, dan bangunan itu sendiri (kampung dan emplasemen); (2) kebun, meliputi kebun campuran dan kebun sayuran merupakan daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campuran, baik dengan pola acak maupun teratur sebagai pembatas tegalan; (3) tegalan merupakan daerah yang ditanami umumnya tanaman semusim, namun pada sebagian lahan tak ditanami dimana vegetasi yang umum dijumpai adalah padi gogo,singkong, jagung, kentang, kedelai dan kacang tanah;(4) sawah merupakan daerah pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu yang biasanya diairi sejak penanaman hingga beberapa hari sebelum panen;(5) hutan merupakan wilayah yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan, baik alami maupun dikelola manusia dengan tajuk yang rimbun, besar serta lebat; (6) lahan terbuka, merupakan daerah yang tidak terdapat vegetasi maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia; (7) semak belukar adalah daerah yang ditutupi oleh pohon baik alami maupun yang dikelola dengan tajuk yang relatif kurang rimbun (Widyaningsih, 2008).
Berdasarkan satuan geomorfologi yang terdapat di kawasan peta tersebut adalah daerah perbukitan (200-500 m), perbukitan rendah (50-200 m) dan dataran rendah (< 50 m). Umtuk di area perbukitan yang mempunyai kemiringan lereng yang terjal merupakan kawasan yang dilindungi jadi untuk lahannya tidak dianjurkan sebagai  kawasan industri pertanian melainkan kawasan hutan lidung atau suaka marga satwa. Untuk area kawasan perbukitan  rendah yang mempunyai kelerengan landai < 30O dapa digunakan sebagai kawasan hutan industri dan dibawah kelerengan itu dapat digunakan sebagai lahan pertanian budidaya. Begitu juga dikawasan dataran rendah dapat dijadikan pertanian budidaya tanaman dataran rendah dan juga sebagai kawasan perkotaan atau industri.
Parameter utama dalam zona agroekologi adalah  lereng dan dikelompokkan menjadi 4 (empat zona utama yaitu : zoana I ( lereng > 40 %), zona II (lereng 16 – 40 %), zona III (lereng 8 – 15 %) dan zona IV (lereng < 8 %). Pada daerah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah gambut atau jenis tanah dengan kandungan garam atau sulfat yang tinggi atau jenis tanah yang berkembang dari pasir kwarsa dikelompokkan ke dalam zona tersendiri yaitu masing-masing zona V, VI,  VII dan VIII (Sudaryanto, et al 2002).
Berdasarkan kriteria zona utama tersebut suatu wilayah dapat dibagi menjadi 8 zona agroekologi dengan spesifikasi sistem pertanian atau kehutanan sebagai berikut :

  • 1.                  Zona I adalah suatu wilayah dengan lereng > 40 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk kehutanan.
  • 2.                  Zona II adalah suatu wilayah  dengan lereng 16 – 40 % dengan dengan tipe pemanfaatan lahan adalah perkebunan (budidaya tanaman tahunan).
  • 3.                  Zona III adalah sutau wilayah dengan lereng 8 – 15 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah wana tani (agro- forestry).
  • 4.                  Zona IV adalah suatu wilayah dengan lereng 0 – 8 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk tanaman pangan yaitu pada tanah yang berdrainase tanah buruk untuk pengembangan padi sawah dan pada tanah yang berdrainase baik untuk pengembangan tanaman pangan lahan kering.
  • 5.                  Zona V adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah gambut dengan tipe pemanfaatan lahan adalah adalah tanaman hortikultura (gambut dangkal dengan ketebalan  1,5 m) atau kehutanan (gambut dalam dengan ketebalan > 1,5 m).
  • 6.                  Zona VI adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah yang mempunyai  kandungan sulfat masam atau kandungan garam yang tinggi dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk sistem perikanan (tambak  payau, budidaya udang, kepiting, bakau, dan lain-lain).
  • 7.                  Zona VII adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dan jenis tanah yang berkembang dari pasir kuarsa dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk kehutanan (hutan produksi, hutan tanaman industri).
  • 8.                  Zona VIII adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dan tanah dangkal  rumput dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk  sistem peternakan.
Selain itu, kawasan lereng yang landai (0-3%) dapat digunakan sebagai kawasan bandara dan jalan kereta api.  Selain itu untuk kawasan pemukiman tidak dianjurkan dibangun diatas kemiringan lereng >15 % karena kawasan tersebut miring- agak curam- sangat curam; Banyak terjadi gerakan tanah,  dan erosi, terutama longsoran yang bersifat nendatan. Untuk pembangunan jalan tol tidak dianjurkan pada kemiringan lahan >5% karena banyak terjadi gerakan tanah,  dan erosi, terutama longsoran. Kemiringan yang sesuai bersifat Datar hingga hampir datar; tidak ada proses denudasi yang berarti, gerakan tanah kecepatan rendah, tidak rawan erosi. 

IV.  KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum ini dapat disimpulkan adalah:
1.    Bentuk lahan (landform) menguraikan tentang jenis-jenis terain khusus dan menempatkan satuan peta inventarisasi ke dalam bentang lahan (landscape).
2.    Pemanfaatan lahan pada satuan geomorfologi ditentukan dari berbagai aspek atau cirri-ciri dari geomorfologi dari wilayah tersebut. cirri-ciri tersebut yaitu keadaan topografi dan morfologinya. Keadaan topografi berupa bagian kelerengan (puncak, lereang bagian atas, lereng bagian tengah, lereng bagian bawah, atau dasar lembah), ketinggian (perbukitan, dataran rendah, perbukitan rendah, perbukitan, perbukitan tinggi, atau pegunungan. Morfologinya berupa kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk lereng.
3.    Berdasarkan satuan geomorfologi yang terdapat di kawasan peta tersebut adalah daerah perbukitan (200-500 m), perbukitan rendah (50-200 m) dan dataran rendah (< 50 m). Umtuk di area perbukitan yang mempunyai kemiringan lereng yang terjal merupakan kawasan yang dilindungi jadi untuk lahannya tidak dianjurkan sebagai  kawasan industri pertanian melainkan kawasan hutan lidung atau suaka marga satwa. Untuk area kawasan perbukitan  rendah yang mempunyai kelerengan landai < 30O dapa digunakan sebagai kawasan hutan industri dan dibawah kelerengan itu dapat digunakan sebagai lahan pertanian budidaya. Begitu juga dikawasan dataran rendah dapat dijadikan pertanian budidaya tanaman dataran  rendah dan juga sebagai kawasan perkotaan atau industri.


DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan pengelolaan aliran sungai. Gadjah Mada. University Press.
Sudaryanto, B., G. Purwanto, D. Suherlan, Yusmeinardi, dan Nasrul. 2002. Zonasi agroekologi Propinsi Lampung. Buku I. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampumg. 29 p.
Thornbury, 1970. Principle Of Geomorfoogi. New York : John Willey and Sons, INC.
Verstappen., H. Th. 1983. Applied Geomorphology.Geomorphological Sureys for Environmental Management. Amsterdam: Elsivier.
Widyaningsih, Iin Widiatni. 2008. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan di Sub Das Keduang Ditinjau dari Aspek Hidrologi. Diakses dari https://eprints.uns.ac.id/6376/1/75081307200905161.pdf  pada 10 November 2018 pukul 19.00 WIB.


c

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATERI 7(STRUKTUR DATA SIG)

IMPLEMENTASI TAMAN JAYABAYA KEDIRI SEBAGAI KAWASAN RUANG TERBUKA DAN HIJAU DI KAB. KEDIRI