LAPORAN PRAKTIKUM GEOMORFOLOGI DAN KLASIFIKASI TANAH
LAPORAN
PRAKTIKUM
GEOMORFOLOGI
DAN KLASIFIKASI TANAH
IRAWAN
DWIYANTO
NPM
: 1625010110
SEMESTER
V
GOLONGAN
A1
LABORATORIUM
SUMBER DAYA LAHAN
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
2018
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Geomorfologi (
geomorphology ) adalah ilmu tentang roman muka bumi beserta aspek-aspek yang
mempengaruhinya. Di mana geomorfologi yang merupakan cabang dari ilmu geografi,
mempelajari tentang bentuk muka bumi, yang meliputi pandangan luas sebagai
cakupan satu kenampakan sebagai bentang alam (landscape) sampai pada satuan
terkecil sebagai bentuk lahan (landform).
Obyek utama
geomorfologi ialah bentuklahan, proses geomorfologi, genesa dan evolusi
pertumbuhan bentuk lahan, beserta hubungannya dengan aspek lingkungan. Dalam
hal ini utamanya mengupas tentang berbagai bentuk lahan dari bentukan berbagai
asal proses yang berbeda. Bentanglahan atau landscape merupakan kombinasi atau
gabungan dari bentuklahan. Mengacu pada definisi bentanglahan tersebut, maka
dapat dimengerti bahwa unit analisis yang yang sesuai adalah unit bentuklahan.
Oleh karena itu, untuk menganalisis dan mengklasifikasikan bentanglahan selalu
mendasarkan pada kerangka kerja bentuklahan (landform).
Bentuklahan
adalah bagian dari permukaan bumi yang memiliki bentuk topografis khas, akibat
pengaruh kuat dari proses alam dan struktur geologis pada material batuan,
dalam skala ruang dan waktu kronologis tertentu. Geomorfologi adalah studi yang
mendeskripsi bentuklahan dan proses-proses yang menghasilkan bentuklahan serta
menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut
dalam susunan keruangan.
Kajian utama
geomorfoloogi untuk analisis lansekap dan morfologi (bentuk-bentuk lahan) yang
terdiri dari morfografi (uraian dari bentuk lahan) dan morfometri (ukuran
bentuk lahan) dan morfogenesis (proses pembentukan bentuk lahan),
Morfoarangemen (tata ruang alamiah bentuk lahan).Aspek tersebut juga digunakan
dalam mengkaji ilmu-ilmu tanah, khususnya pada kajian Pedologi, Klasifikasi
Tanah, Survey dan Penilaian Lahan. Perlu diketahui bahwa analisis lansekap
sering digunakan untuk manganalisis bentang lahan baik dianalisis dari sebuah
peta maupun citra ataupun secara lapang.
Kita ketahui
bentang lahan dan bentuk lahan sebagai suatu permukann bumi yang didalamnya
terkandung berbagai aspek yang dimaksudkan diatas, maka jelaslah bentang lahan
dan bentuk lahan dapat dikatagorikan
sebagai sumber daya landscape yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia
dengan menganalisis bentang lahan tersebut berdasarkan geomorfiknya.
1.2 Tujuan
1. Mengenal
Peta topografi, garis kontur, sifat garis kontur, pola kontur, kemiringan
lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng.
2. Mampu
membuat peta topografi berdasarkan data titik-titik ketinggian
3. Mampu
membuat peta kontur dengan menggunakan software komputer secara mandiri.
4. Mampu
membuat interpretasi bentuk bentang alam berdasarkan peta topografi
5. Mampu
membuat deskripsi satuan geomorfologi kualitatif dan kuantitatif berdasarkan
analisis peta topografi.
6. Mampu
mengaplikasikan pemanfataan analisis peta topografi.
1.3
Manfaat
1. Mampu
mengoperasikan dan menggunakan software
Surfer v.15 untuk menganalisa bentang lahan (landscape) berdasarkan ploting ketinggian secara manual mmenggunakan
software Surfer v.15.
2. Mampu mengintepretasikan bentang lahan
(landscape) berdasarkan ploting
ketinggian secara manual menggunakan software Surfer v.15 dan menampilkan peta
kontur, peta kontur 3D, gambar medan 3D, gambar penampang U-T dan penampang
B-T.
3. Mampu
klasifikasi hubungan antara hubungan kelas sudut lereng dengan penggunaan lahan
sesuai bentuk bentang lahan.
II.
METODE PELAKSANAAN
2.1
Waktu
dan Tempat
Praktikum ini
dilaksanakan pada hari Selasa tanggal
September 2018-22 Oktober 2018 pukul 13.30 - 14.50 WIB di Laboratorium
Sumber Daya Lahan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2.2
Alat
dan Bahan
1. Personal Computer
2. Software Surfer v.15
3. Lembar peta plot titik
ketinggian
4. pensil teknis
5. penggaris
2.3
Metode
pelaksanaan
1. Memploting ketinggian
secara manual mmenggunakan software Surfer v.15.
2. Menampilkan hasil plot
titik ketinggian dan membandingkan dengan lembar deskripsi peta titik
ketinggian.
3. Menampilkan peta
kontur, peta kontur 3D, gambar medan 3D, gambar penampang U-T dan penampang
B-T.
4. Mengklasifikasi
hubungan antara hubungan kelas sudut lereng dengan penggunaan lahan.
5. Membuat narasi tentang pemanfaatan lahan pada
satuan geomorfologi tersebut
III. HASIL
DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. deskripsi
peta titik ketinggian.
Gambar 2. hasil plot
titik ketinggian pada program sufer
Gambar 3. Peta kontur
Gambar 4. gambar medan 3D
Gambar. 5 Peta Kontur 3D
Gambar 6. Penampang profil U-S
Gambar 7. Penampang Profil B-T
B. Pembahasan
a.
DESKRIPSI
: Berdasarkan peta kontur dan peta medan
di atas dapat diketahui bahwa area tersebut merupakan kawasan bukit dengan
ketinggian maksimum adalah 300 m dpl. Untuk ketinggian rata-rata area tersebut
adalah 60-80 mdpl. Bukit adalah suatu bentuk wujud alam wilayah bentang alam
yang memiliki permukaan tanah yang lebih tinggi dari permukaan tanah di
sekelilingnya namun dengan ketinggian relatif rendah dibandingkan dengan
gunung.
Berdasarkan peta kontur
di atas dapat diketahui bahwa area tersebut merupakan kawasan perbukitan,
terdapat 1 bukit yang menonjuol dengan ketinggian bukit tertinggi adalah 350 m
dpl dan bukit yang lain adalah 100-200 m dpl. Dapat diketahui peta kontur
tersebut menggambarkan 1 bukit karena terdapat 1 garis kontur yang memutar
dimana semakin kecil lingkaran semakin tinggi ketinggiannya atau kawasan
tersebut semakin terjal.. Dilihat dari peta medan diketahui kawasan tersebut
kawasan perbukitan memiliki medan yang yang naik turun yang berada di dataran
rendah (<1000 m dpl).
b. Keinggian Maksimal :
350
Rata- Rata Ketinggian:
79
c. Lereng Maksimal U-S : 167 % (Data
Terlampir) (sangat curam)
Lereng Minimal U-S :
33% (Data
Terlampir) (terjal)
Rata-rata lereng U-S : 79,63% (Data
Terlampir) (sangat terjal)
Lereng Maksimal B-S : 210% (Data
Terlampir) (sangat curam)
Lereng Minimal B-S :
0 % (Data
Terlampir) (datar)
Rata-rata lereng B-S : 94,80 % (Data
Terlampir) (sangat terjal)
d. Pola
bentuk dan panjang lereng
Panjang lereng : 171,7 (sedang)
Bentuk lereng : Lereng yang mendominasi menurut gambar profil adalah cembung
dengan lereng tidak teratur halus berdasarkan gambar profil.
Klasifikasi
hubungan antara hubungan kelas sudut lereng dengan penggunaan lahan.
Geomorfologi
merupakan studi yang mempelajari bentuklahan dan proses yang mempengaruhinya
serta menyelidiki hubungan timbal balik antara bentuklahan dan proses-proses
itu dalam susunan keruangan (Verstappen,1983). Proses geomorfologi adalah
perubahan-perubahan baik secara fisik maupun kimiawi yang mengakibatkan
modifikasi permukaan bumi (Thornbury, 1970). Penyebab proses geomorfologi
adalah benda-benda alam yang dikenal dengan benda-benda alam berupa angin dan
air. Proses geomorfologi dibedakan menjadi dua yaitu proses eksogen (tenaga
asal luar bumi) yang umumnya sebagai perusak dan proses endogen (tenaga yang
berasal dari dalam bumi) sebagai pembentuk, keduanya bekerja bersama-sama dalam
merubah permukaan bumi.
Bentuklahan
merupakan morfologi dan karakteristik permukaan lahan sebagai hasil interaksi
antara proses fisik dan gerakan kerak dengan geologi lapisan permukaan bumi.
Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa bentuklahan
merupakan bentang permukaan lahan yang mempunyai relief khas karena pengaruh
kuat dari struktur kulit bumi dan akibat dari proses alam yang bekerja pada
batuan di dalam ruang dan waktu tertentu. Masing-masing bentuklahan dicirikan
oleh adanya perbedaan dalam hal struktur dan proses geomorfologi, relief/topografi
dan material penyusun .
Kondisi lahan
tidak terlepas dari topografi. Kemiringan lereng dan panjang lereng adalah dua
faktor yang menentukan karakteristik topografi suatu daerah (Asdak, 2002). Pengelompokan
kerapatan kontur dapat dilakukan secara kualitatif yaitu dengan melihat secara
visual terhadap kerapatan yang ada, atau secara kuantitatif dengan menghitung
persen lereng dari seluruh peta. Persen lereng adalah persentase perbandingan
antara beda tinggi suatu lereng terhadap panjang lerengnya itu sendiri. Banyak
pengelompokan kelas lereng yang telah dilakukan, misalnya oleh Mabbery (1972)
untuk keperluan lingkungan binaan, Desaunettes (1977) untuk pengembangan
pertanian, ITC (1985) yang bersifat lebih kearah umum dan melihat proses-proses
yang biasa terjadi pada kelas lereng tertentu .
Tabel 1. Kelas lereng
Kelas Lereng
|
Sifat-sifat proses dan kondisi alamiah
|
Warna
|
0 – 20
(0-2 %)
|
Datar hingga hampir datar; tidak ada proses denudasi yang berarti
|
Hijau
|
2 – 40
(2-7 %)
|
Agak miring; Gerakan tanah kecepatan rendah, erosi lembar dan erosi alur
(sheet and rill erosion). rawan erosi
|
Hijau Muda
|
4 – 80
(7 – 15 %)
|
Miring;sama dengan di atas, tetapi dengan besaran yang lebih tinggi.
Sangat rawan erosi tanah.
|
Kuning
|
8 – 160
(15 -30 %)
|
Agak curam; Banyak terjadi gerakan tanah, dan erosi, terutama
longsoran yang bersifat nendatan.
|
Jingga
|
16 – 350
(30 – 70 %)
|
Curam;Proses denudasional intensif, erosi dan gerakan tanah sering
terjadi.
|
Merah Muda
|
35 – 550
(70 – 140 %)
|
Sangat curam; Batuan umumnya mulai tersingkap, proses denudasional sangat
intensif, sudah mulai menghasilkan endapan rombakan (koluvial)
|
Merah
|
>550
(>140 %)
|
Curam sekali, batuan tersingkap; proses denudasional sangat kuat, rawan
jatuhan batu, tanaman jarang tumbuh (terbatas).
|
Ungu
|
>550
(>140 %)
|
Curam sekali Batuan tersingkap; proses denudasional sangat kuat, rawan
jatuhan batu, tanaman jarang tumbuh (terbatas).
|
Ungu
|
Kelas lereng,
dengan sifat-sifat proses dan kondisi alamiah yang kemungkinan terjadi dan
usulan warna untuk peta relief secara umum (disadur dan disederhanakan dari Van
Zuidam, 1985). Penggunaan suatu lahan harus disesuaikan dengan potensi dari
lahan tersebut. Daerah dengan kemiringan lereng merupakan salah satu yang harus
diperhatikan. Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa kelas atau tingkat
kelerengan menentukan suatu bentang alam kawasan tersebut. kelas lereng yang
mempunyai tanda + menunjukan lahan tersebut mampu untuk dijadikan bentang alam
tersebut. Apabila suatu lahan yang di alih fungsikan mejadi sesuatu yang tak
mampu ditopangnya maka terjadilah suatu degradasi lahan yang dapat
mengakibatkan lahan tersubut tidak optimum penggunaannya dan bahwan berdampak
ke area lain seperti daerah dibwahnya.
Tabel 2.
Hubungan penggunanaan lahan dengan sudut lereng secara optimum
Penggunaan atau aktifitas
|
Kelas
sudut lereng (%)
|
||||||
0-3
|
3-5
|
5-10
|
10-15
|
15-30
|
30-70
|
> 70
|
|
Rekreasi umum
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Bangunan terhitung
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Penggunaan kota umum
|
+
|
+
|
+
|
+
|
|||
Jalan urban / kota
|
+
|
+
|
+
|
||||
Pusat perdagangan
|
+
|
+
|
|||||
Jalan raya / tol
|
+
|
+
|
|||||
Lapangan terbang
|
+
|
||||||
Jalan kereta api
|
+
|
||||||
Jalan lain
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
<
45
|
|
Kawasan pertanian
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Kawasan industri
|
+
|
+
|
|||||
Kawasan pariwisata
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Kawasan pemukiman
|
+
|
+
|
+
|
a.
Pemanfaatan
lahan pada satuan geomorfologi
Bentuk lahan
(landform) menguraikan tentang jenis-jenis terain khusus dan menempatkan satuan
peta inventarisasi ke dalam bentang lahan (landscape). Cara yang mudah untuk
identifikasi di foto udara menggunakan bentang lahan dan kelerengan
(topografi). Klasifikasi bentuk lahan dapat diperoleh dari Katalog Bentuk Lahan
(Desaunettes, 1977) dan Kucera (1988). Disarankan untuk menggunakan klasifikasi
Kucera (1988) karena lebih sederhana tetapi lengkap.
Bentuk lahan
memberikan gambaran pada kita tentang kondisi lokasi secara umum. Melalui
informasi bentuk lahan juga dapat diperoleh gambaran karakteristik lahan yang
lain, misalnya bentuk lahan yang bergunung akan mempunyai jenis-jenis tanah
tertentu, biasanya kelerengannya curam dan solum tanahnya relatif dangkal. Sebaliknya
bentuk lahan aluvium akan memberi gambaran tentang kondisi yang datar dengan
drainase yang kurang baik, teksturnya halus dan solum tanahnya dalam.
Pemanfaatan
lahan pada satuan geomorfologi ditentukan dari berbagai aspek atau cirri-ciri
dari geomorfologi dari wilayah tersebut. cirri-ciri tersebut yaitu keadaan
topografi dan morfologinya. Keadaan topografi berupa bagian kelerengan (puncak,
lereang bagian atas, lereng bagian tengah, lereng bagian bawah, atau dasar
lembah), ketinggian (perbukitan, dataran rendah, perbukitan rendah, perbukitan,
perbukitan tinggi, atau pegunungan. Morfologinya berupa kemiringan lereng,
panjang lereng, bentuk lereng. Serta aspek lainnya berupa pola aliran sungai. Informasi
kemiringan dan arah lereng sangat diperlukan bagi pengelolaan lahan. Parameter
kelerengan juga digunakan untuk klasifikasi beberapa keperluan, misalnya untuk
penentuan fungsi lindung dan budidaya. Jadi informasi ini sangat dibutuhkan
untuk keperluan pengelolaan termasuk pengelolaan hutan.
Berbagai tipe
penggunaan lahan dijumpai di permukaan bumi, masing-masing tipe mempunyai
kekhususan tersendiri. Tipe penggunaan lahan secara umum meliputi pemukiman,
kawasan budidaya pertanian, padang penggembalaan, kawasan rekreasi dan lainnya.
Badan Pertanahan Nasional mengelompokkan jenis penggunaan lahan sebagai berikut
: (1) pemukiman, berupa kombinasi antara jalan, bangunan, tegalan/pekarangan,
dan bangunan itu sendiri (kampung dan emplasemen); (2) kebun, meliputi kebun
campuran dan kebun sayuran merupakan daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan
satu jenis maupun campuran, baik dengan pola acak maupun teratur sebagai
pembatas tegalan; (3) tegalan merupakan daerah yang ditanami umumnya tanaman
semusim, namun pada sebagian lahan tak ditanami dimana vegetasi yang umum dijumpai
adalah padi gogo,singkong, jagung, kentang, kedelai dan kacang tanah;(4) sawah
merupakan daerah pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utama dengan
rotasi tertentu yang biasanya diairi sejak penanaman hingga beberapa hari
sebelum panen;(5) hutan merupakan wilayah yang ditutupi oleh vegetasi
pepohonan, baik alami maupun dikelola manusia dengan tajuk yang rimbun, besar
serta lebat; (6) lahan terbuka, merupakan daerah yang tidak terdapat vegetasi
maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia; (7) semak belukar adalah
daerah yang ditutupi oleh pohon baik alami maupun yang dikelola dengan tajuk
yang relatif kurang rimbun (Widyaningsih, 2008).
Berdasarkan
satuan geomorfologi yang terdapat di kawasan peta tersebut adalah daerah
perbukitan (200-500 m), perbukitan rendah (50-200 m) dan dataran rendah (<
50 m). Umtuk di area perbukitan yang mempunyai kemiringan lereng yang terjal
merupakan kawasan yang dilindungi jadi untuk lahannya tidak dianjurkan
sebagai kawasan industri pertanian
melainkan kawasan hutan lidung atau suaka marga satwa. Untuk area kawasan
perbukitan rendah yang mempunyai
kelerengan landai < 30O dapa digunakan sebagai kawasan hutan
industri dan dibawah kelerengan itu dapat digunakan sebagai lahan pertanian
budidaya. Begitu juga dikawasan dataran rendah dapat dijadikan pertanian
budidaya tanaman dataran rendah dan juga sebagai kawasan perkotaan atau
industri.
Parameter utama
dalam zona agroekologi adalah lereng dan
dikelompokkan menjadi 4 (empat zona utama yaitu : zoana I ( lereng > 40 %),
zona II (lereng 16 – 40 %), zona III (lereng 8 – 15 %) dan zona IV (lereng <
8 %). Pada daerah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah gambut atau jenis
tanah dengan kandungan garam atau sulfat yang tinggi atau jenis tanah yang
berkembang dari pasir kwarsa dikelompokkan ke dalam zona tersendiri yaitu
masing-masing zona V, VI, VII dan VIII
(Sudaryanto, et al 2002).
Berdasarkan
kriteria zona utama tersebut suatu wilayah dapat dibagi menjadi 8 zona
agroekologi dengan spesifikasi sistem pertanian atau kehutanan sebagai berikut
:
- 1. Zona I adalah suatu wilayah dengan lereng > 40 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk kehutanan.
- 2. Zona II adalah suatu wilayah dengan lereng 16 – 40 % dengan dengan tipe pemanfaatan lahan adalah perkebunan (budidaya tanaman tahunan).
- 3. Zona III adalah sutau wilayah dengan lereng 8 – 15 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah wana tani (agro- forestry).
- 4. Zona IV adalah suatu wilayah dengan lereng 0 – 8 % dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk tanaman pangan yaitu pada tanah yang berdrainase tanah buruk untuk pengembangan padi sawah dan pada tanah yang berdrainase baik untuk pengembangan tanaman pangan lahan kering.
- 5. Zona V adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah gambut dengan tipe pemanfaatan lahan adalah adalah tanaman hortikultura (gambut dangkal dengan ketebalan 1,5 m) atau kehutanan (gambut dalam dengan ketebalan > 1,5 m).
- 6. Zona VI adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dengan jenis tanah yang mempunyai kandungan sulfat masam atau kandungan garam yang tinggi dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk sistem perikanan (tambak payau, budidaya udang, kepiting, bakau, dan lain-lain).
- 7. Zona VII adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dan jenis tanah yang berkembang dari pasir kuarsa dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk kehutanan (hutan produksi, hutan tanaman industri).
- 8. Zona VIII adalah suatu wilayah dengan lereng < 3 % dan tanah dangkal rumput dengan tipe pemanfaatan lahan adalah untuk sistem peternakan.
Selain itu,
kawasan lereng yang landai (0-3%) dapat digunakan sebagai kawasan bandara dan
jalan kereta api. Selain itu untuk
kawasan pemukiman tidak dianjurkan dibangun diatas kemiringan lereng >15 %
karena kawasan tersebut miring- agak curam- sangat curam; Banyak terjadi
gerakan tanah, dan erosi, terutama
longsoran yang bersifat nendatan. Untuk pembangunan jalan tol tidak dianjurkan
pada kemiringan lahan >5% karena banyak terjadi gerakan tanah, dan erosi, terutama longsoran. Kemiringan
yang sesuai bersifat Datar hingga hampir datar; tidak ada proses denudasi yang
berarti, gerakan tanah kecepatan rendah, tidak rawan erosi.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan
praktikum ini dapat disimpulkan adalah:
1. Bentuk
lahan (landform) menguraikan tentang jenis-jenis terain khusus dan menempatkan
satuan peta inventarisasi ke dalam bentang lahan (landscape).
2. Pemanfaatan
lahan pada satuan geomorfologi ditentukan dari berbagai aspek atau cirri-ciri
dari geomorfologi dari wilayah tersebut. cirri-ciri tersebut yaitu keadaan
topografi dan morfologinya. Keadaan topografi berupa bagian kelerengan (puncak,
lereang bagian atas, lereng bagian tengah, lereng bagian bawah, atau dasar
lembah), ketinggian (perbukitan, dataran rendah, perbukitan rendah, perbukitan,
perbukitan tinggi, atau pegunungan. Morfologinya berupa kemiringan lereng,
panjang lereng, bentuk lereng.
3. Berdasarkan
satuan geomorfologi yang terdapat di kawasan peta tersebut adalah daerah
perbukitan (200-500 m), perbukitan rendah (50-200 m) dan dataran rendah (<
50 m). Umtuk di area perbukitan yang mempunyai kemiringan lereng yang terjal
merupakan kawasan yang dilindungi jadi untuk lahannya tidak dianjurkan
sebagai kawasan industri pertanian
melainkan kawasan hutan lidung atau suaka marga satwa. Untuk area kawasan
perbukitan rendah yang mempunyai
kelerengan landai < 30O dapa digunakan sebagai kawasan hutan
industri dan dibawah kelerengan itu dapat digunakan sebagai lahan pertanian
budidaya. Begitu juga dikawasan dataran rendah dapat dijadikan pertanian
budidaya tanaman dataran rendah dan juga
sebagai kawasan perkotaan atau industri.
DAFTAR
PUSTAKA
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan pengelolaan aliran
sungai. Gadjah Mada. University Press.
Sudaryanto, B., G. Purwanto, D.
Suherlan, Yusmeinardi, dan Nasrul. 2002. Zonasi agroekologi Propinsi Lampung.
Buku I. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampumg. 29 p.
Thornbury,
1970. Principle Of Geomorfoogi. New York : John Willey and Sons, INC.
Verstappen.,
H. Th. 1983. Applied Geomorphology.Geomorphological Sureys for Environmental Management.
Amsterdam: Elsivier.
Widyaningsih,
Iin Widiatni. 2008. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan di Sub Das Keduang
Ditinjau dari Aspek Hidrologi. Diakses dari https://eprints.uns.ac.id/6376/1/75081307200905161.pdf pada 10
November 2018 pukul 19.00 WIB.
c
Komentar
Posting Komentar